
Hanya ada satu kata: Lawan! Kata itu selalu terngiang dalam kepala saya sejak pertama kali mendengarnya dari teman saya Mbak Nia, cerita tentang gerakan reformasi tahun 1998 yang banyak memakan korban. Dan Mbak Nia adalah bagian dari sejarah; salah satu pejuang reformasi, bersama suami yang dia temui saat sama-sama berjuang membela rakyat kecil bersama Wiji Thukul. Sungguh saya tidak menyangka akan mengenal salah satu pelaku sejarah dan bisa mendengar cerita tentang Wiji Thukul, nama yang sering saya dengar tapi tak pernah tau karakternya. Dari Mbak Nia sedikit banyak saya mulai memahami siapa Wiji Thukul.
Wiji Thukul adalah penarik becak yang dengan bicara pelonya, membuat saya susah percaya bahwa pemerintah orde baru bisa takut dengan dia hingga memburunya ke pelosok. Tapi saat saya mulai membaca puisi-puisinya, hanya 1 kata yang bisa mewakili perasaan saya: power! Power moves people, tak terlihat tapi bisa menggerakkan massa, dan pada masa orde baru, itu adalah hal yang ingin diberangus oleh pemerintah.
Hari Sabtu seminggu kemaren, saya nonton film Istirahatlah Kata-Kata, film yang miskin kata-kata tapi bising akan pesan dari masa lalu. Sendirian, nggak ingin acara nonton saya diganggu oleh komentar teman di samping, tak ingin pula menit berlalu tanpa melihat dan memaknai pesan yang ada di film itu. Agak lebay sih, tapi saya nggak ingin misi saya untuk bertanya tentang reformasi ke Mbak Nia gagal hanya karena saya nonton film tapi nggak ngerti isinya.
Wiji Thukul tak banyak bicara, bukan tipe demonstran gahar yang berteriak gantung Soeharto, pada masanya. Wiji Thukul menulis puisi, tapi siapapun yang membaca puisinya pasti akan merasakan semangat pergerakan mengalir dari kata-kata yang dia tulis.
Saat film dimulai dengan adegan Sipon dan anaknya diinterogasi oleh polisi yang mencari keberadaan Wiji Thukul, saya mulai merasa gelombang pesan-pesan masuk dari 19 tahun yang lalu melalui adegan itu. Ada berapa banyak anggota keluarga para pejuang reformasi yang diintimidasi oleh aparat, saat tidur malam-malam mereka mulai berubah jadi ketakutan karena setiap malam disantroni oleh para intel dan hari-hari mereka mulai dihiasi oleh ketakutan karena tekanan-tekanan yang mereka dapatkan dari lingkungannya. Ada berapa banyak istri seperti Sipon yang harus bertahan dalam ketidaktahuan akan nasib suaminya. Ada berapa anggota keluarga yang hanya kembali nama saat mereka memperjuangkan keadilan sementara tidak ada proses hukum yang jelas hingga kini.
Salah satu adegan yang melekat di pikiran saya adalah saat Wiji Thukul mendatangi tukang cukur untuk mengubah penampilannya karena ingin membuat KTP di tempat persembunyiannya di Kalimantan. Saat tukang cukur baru mulai memotong rambutnya, seorang tentara datang, si tukang cukur langsung meminta Wiji Thukul untuk menunggu karena si tentara langsung menjadi prioritas. Si tentara kemudian mulai berbicara tentang peran dan jasa TNI terhadap negara seraya berkata kepada si tukang cukur: “Makanya, kalo ada tentara minta cukur rambutnya, kamu jangan minta bayaran”. Si tukang cukur hanya mengiyakan, entah dia setuju atau hanya agar si tentara cepat pergi. Saya mengingat masa kecil saya yang dihiasi adegan-adegan di mana tentara bisa melakukan apa saja, bahkan makan tanpa bayar. Hal sama yang masih saya temui bahkan saat saya beranjak dewasa. Selalu menjadi pertanyaan sejak saya kecil, apa yang yang menjadikan aparat istimewa hingga mereka bisa melakukan apa saja. Pertanyaan yang membuat saya tidak punya persepsi positif terhadap aparat hingga kini.
Diam, adalah kata yang tepat untuk Sipon. Saat Sipon menemui Wiji Thukul di losmen murah, tetangga Sipon yang sepertinya menaruh hati rupanya membuntuti Sipon sampai ke losmen itu. Saya berasumsi ada gosip yang beredar setelah peristiwa losmen itu di lingkungan rumah Wiji Thukul, saat adegan di mana Sipon memukul tetangganya dengan kantongan kresek belanjaannya sambil bersuara dengan nada marah: “Saya bukan lonte!” Kemudian tetangganya menjawab: “Saya mengikuti kamu sampai losmen itu”.
Sipon hanya terisak sambil memunguti ikan dan sayuran yang jatuh dari kresek yang robek. Ada gumpalan amarah dalam dadanya karena dia tidak terima disebut lonte tapi dia juga tidak bisa menjelaskan tujuannya mendatangi losmen tersebut.
Gumpalan itu bukan karena lonte, lonte hanyalah kunci pembuka saluran untuk gumpalan yang muncul karena hasil dari kumpulan fase-fase sebab akibat dari puisi-puisi Wiji Thukul berbentuk intimidasi aparat, rumah mereka yang diobrak-abrik aparat yang kemudian pergi membawa buku-bukunya, para tetangga yang tak lagi mau diajak bicara karena takut dianggap bersekongkol, para intel yang setiap malam menyantroni rumah mereka, ketidaktahuan akan nasib suaminya, pertanyaan-pertanyaan anaknya yang tak terjawab, suaminya yang akhirnya pulang ke rumah sembunyi-sembunyi tapi mereka harus berbicara pelan-pelan karena takut ada yang mendengar dan melaporkan keberadaan Wiji Thukul di rumahnya. Entah ada berapa banyak gumpalan lagi dalam dada Sipon yang tak terbaca oleh saya, saya hanya melihat bahwa bahkan Supermanpun harus berguru pada Sipon untuk bisa menjadi manusia kuat.
Wiji Thukul yang akhirnya kembali pergi meninggalkan rumahnya, bersembunyi, tak pernah kembali. Sipon tak pernah tau kemana suaminya pergi. Tapi saya berhutang pada Wiji Thukul, saya berhutang pada kalian, nama-nama yang dijauhkan dari keluarganya dan menghilang dari muka bumi tahun 1998. Mereka yang namanya tidak terkenal tapi akan terus dikenang oleh saya, kalian, yang karena mereka, kita bisa mengecap kemudahan-kemudahan dan kebebasan, kebebasan yang kini kebablasan.